Jiwa patriotisme memang mengalir
dalam diri wanita kelahiran Cicalengka, Jawa Barat, 4 Desember 1884 ini.
Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang
ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga
meninggal dunia di sana.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti
pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan
minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia
sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana
layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain
sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu
ia sangat senang berperan sebagai guru.
Kegemarannya dalam belajar mengajar
dalam hal membaca dan menulis sudah terlihat sejak kecil dengan mempraktikkan
bersama anak anak pembantu di kepatihan,Papan bilik kandang kereta, arang, dan
pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Semakin banyak ilmu yang di gali di masa dewasanya, Dewi Sartika
semakin gencar dalam mewujudkan cita citanya dengan bantuan Pamannya Bupati
Martanagara untuk mewujudkan cita citanya,salah satu langkah awal dengan
mendirikan sekolah di tahun 1902 yang mana di awali dengan pendidikan
keterampilan Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya,
menjadi materi pelajaran saat itu.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh
kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di
Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya
tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang
menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia
berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya "Sekolah Isteri".
Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua
aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian
ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid
yang hanyawanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda,
menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-
murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam
sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya,
Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas.
Sekolah perempuan semakin berkembang dengan pergantian nama menjadi Sekolah
Keutamaan Perempuan ( sakolah kautamaan istri ) di tahun ke 10 ( 1914 ),dan di
saat perjalanan itu pula menikahlah Dewi sartika dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata di tahun 1906,yang mana pasangan Dewi Sartika adalah suami yang
memiliki visi misi yang sama dalam memperjuangkan pendidikan, semakin
berkembangnya sekolah perempuan yang didirikan Dewi Sartika, di tahun ke 25
pada bulan september 1929, diadakanlah peringatan pendirian sekolah yang mana
sekaligus berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi.
Dengan keberhasilan perjuangan Dwi
Sartika,tercetuslah seorang anak bangsa tokoh pejuang wanita dari bandung yang
membela hak kaum wanita dalam urusan pendidikan.
Dewi wafat pada 11 September 1947.
Sebelumnya Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-sama para pejuang yang terus
melakukan perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan dan disaat itu Setelah
terjadi Agresi militer Belanda tahun 1947.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar